Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2020

Titik temu

Ada banyak hal yang sudah saya temui sejauh ini. Yang belum pernah atau bahkan terulang kembali walau terkadang saya tidak menyadari. Sisa- sisa jejak yang coba untuk saya hilangkan ternyata sia- sia. Betapa berharganya akan sesuatu yang mereka tidak tahu bagaimana rasanya jika kehilangan hal itu. Warna cerah yang terlukis pada kelopak bunga tidak berhasil mengembalikan rasa yang hilang. Sudah cukup rasanya untuk berpura- pura tidak biasa. Karena pada akhirnya, ya kita nyerah juga. Ada sebagian yang tertinggal di sana, bukan harapan, juga bukan secarik surat yang biasa saya tulis. Dia tidak ingin lagi diingat, disimpan, dan juga dibawa ke dalam perjalananmu. Biar dia berlayar semestinya, dengan arah yang sudah tidak lagi menuntun, dengan petunjuk yang sama sekali tidak membantu, biar.  Biar mereka bertemu di tempat yang sama sekali tidak pernah kita rencanakan dan kita pikirkan. Jumpa di titik temu yang menjadikannya sebagai awal dari akhir yang sudah habis terkikis sebagian. Membasahi

Waktu

  Saya pikir saya keliru. Entah apa yang membuat saya belum bisa juga lepas dari memori yang sudah saya usahakan untuk pergi. Saya pikir, 2 tahun lamanya sudah cukup untuk menghilangkan yang ada. Nyatanya, enggak. Ini bukan soal waktu berapa lama saya bisa bertahan atau menyerah, bukan. Ini soal ikhlas yang mungkin saja belum sepenuhnya ada. Saya kira, kamu orang yang tepat. Tapi ternyata salah. Saya bahkan enggak bisa tahu bagaimana kabarmu dan kabar kelulusanmu sampai- sampai saya harus mencari nya sendiri. Untuk semua yang hilang, boleh tidak kalau aku minta sekali untuk kembali? Katanya, yang hilang belum tentu hilang. Dia cuma pergi. Tapi buatku, kamu benar- benar hilang. Dari semua rasa yang pernah aku rasakan, ini adalah pertama kalinya aku merasa begitu kehilangan. Begitu merindunya. Sendu dan lara mungkin sudah tidak bisa dibedakan. Bahkan memang sepasang rasa yang memang harus menyatu.  "Tidak perlu lah kamu tahu apa maksudnya, biar kepalaku yang memaknainya sendiri.&quo

Untukmu

Mereka tahu siapa kamu, apa yang kamu rasakan hari ini. Tak ada selembar kertas yang bisa ku tuliskan supaya kamu bisa membacanya. Barangkali pena hanyalah sebuah alat supaya aku berpikir tentang hari ini. Sejatinya, kamu tetaplah kamu. Sampai kapan pun, lavender tetap hadir di musim semi.  Kehangatan seperti apa yang kamu rasakan hari ini? Mungkinkah seperti sinar yang mengiringi langkahku setiap pagi ketika ingin pergi menyapa dunia? Hampir saja aku lupa, sampai kapan pun aku tak bisa menjangkau dunia, bila duniaku hanyalah kamu. Embun yang membasahi ranting tak pernah jadi masalah mengapa ia harus menetap disana. Apakah ini sama dengan relung kecil yang mengisi jiwamu? Ku biarkan kamu bahagia hari ini karena memang itu yang selalu ku ingin. Seperti yang kamu bilang, tersenyumlah selagi kamu bisa. Ku titipkan semua yang sudah ku tuliskan pada hujan yang mengguyur rumahmu. Entah abadi atau tidak isinya, semoga kau tetap membacanya. Merpati terus memberi kabar, tetapi aku tidak menerim

Siapa yang tahu ?

Tak ada yang lebih indah dari terbitnya matahari dari sebelah timur. Disampaikan padanya bahwa kali ini ia harus pulang tanpa jejak, tanpa syarat, tanpa pamit, tanpa hal- hal lain yang harus diminta. Tak ada yang lebih indah dari rintik hujan yang membasahi kiriman rindu yang tak tersampaikan. Dia harus mencari sendiri kemana perginya rindu itu. Atau mungkin, itu hanya delusi? Sebuah khayalan yang dirangkai dengan jiwa melankolis sehingga membuatnya terus menanti. Atau aku yang terus menunggu tanpa harus tau kapan dan dimana aku dapat menemukannya?  Tak ada yang lebih indah dari serpihan awan yang membentuk kabut menutupi indahnya alam untuk diabadikan. Yang buruk belum tentu buruk, bukan? Melodi yang kau ciptakan bukan sebagai awal atau akhir dari cerita ini. Aku masih ingin mendengarnya. Izinkan aku untuk menyusun semua yang hilang menjadi sebuah rupa yang bisa diterima untuk didengar. Tak ada yang berwarna selain abu yang terlukis di sayapnya. Dia cuma mengenal hitam dan putih. Namu

Andai

Seandainya waktu bisa diputar kembali, mungkin kita bisa berbincang lagi. Seandainya waktu bisa diputar kembali, mungkin aku akan mengambil mesin waktu dan memberhentikan sebentar moment itu walau sebentar, menikmati rintik hujan bersamamu.  Seandainya waktu bisa diputar kembali, aku akan menyimpan potret itu dan menempel pada dinding kamar dihiasi lentera. Seandainya waktu bisa diputar kembali, kita akan kembali pada bukit dimana rasa belum terasa. Seandainya waktu bisa diputar kembali, aku akan menikmati lebih lama indahnya mata dan senyummu hanya untukku.  Seandainya waktu bisa diputar kembali, aku akan menyapa mu lebih dulu dibarisan paling belakang saat itu. Seandainya waktu bisa diputar kembali, hidup tak sesesak ini untuk menahan rindu. Seandainya waktu bisa diputar kembali, aku takkan menuliskan isi hatiku pada ruang ini. Seandainya waktu bisa diputar kembali, kamu akan tahu bahwa seluruh perasaanku ada untukmu.  Andai itu bisa terjadi . . .

Esok Hari

Esok kau takkan kembali. Hari ini aku masih menanti, namun kau memilih untuk pergi. Esok kau tak kan kembali Membawa segenap rasa yang sudah diakhiri Katanya, esok lebih indah dari kemarin, nyatanya tidak. Sama sekali. Untukmu, aku mengerti bahwa ada banyak hal yang memang tidak bisa dibawa kembali walau sebenarnya ingin sekali kujadikan oleh- oleh. Oleh- oleh yang bukan sama sekali seperti buah tangan. Jangan lupa bawa bekal karena kau tak lagi kekal. Jangan lupa menata hati karena kau bukan untukku lagi. Selamat jalan.