Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2020

Satu yang abadi

 Ada satu yang abadi ...      Ternyata, benar- benar melupakanmu tidak berhasil ku lakukan.      Wajahmu selalu hadir di tengah derasnya rindu yang menggebu.     Detak jantungku mengisi kesunyian saat ingat kenangan.     Tak bisa dipungkiri bahwa aku hanya ingin kamu sekarang.     Meminjam dirimu untuk kembali walau hanya sebentar.     Untuk mengobati rasa rindu yang sudah tidak bisa lagi ku tahan.     Ku titipkan segala rasa yang sudah lama tersimpan pada bintang yang berbaris dipimpin sang bulan.      Malam yang remang dihiasi cahaya bintang seolah menemani diriku yang kesepian.     Jam yang terus berputar seolah menyadarkanku bahwa aku masih hidup tanpamu.     Kayu sudah berubah menjadi abu.     Pudar wujudnya karena waktu kian membakar.     Rumah duka sudah tak ada lagi yang menyapa.      Awan yang menggulung menjadikan burung- burung terbangun.      Terbang mencari rumah baru dengan arah yang jelas untuk dituju.      Ini semua fana.      Ada satu yang abadi.      Perasaan yang sed

Rintik

Hari ini...      Hari ini, hujan mengguyur rumahku. Tidak begitu deras, tetapi membawa suasana dingin begitu lama. Suasana yang sering kali membuatku ingat kamu lagi. Mungkin ini terdengar klise, tapi begitulah adanya. Hujan membasahi jalanan sampai membuat sepi dan tak ada lagi yang pergi. Kecuali perasaan.       Awan mulai gelap. Barangkali di rumahmu juga hujan. Maka kita sama- sama merasakan suasana yang sebenarnya tidak asing, tetapi dipaksa untuk menolak di dalam kepala. Walau sebenarnya ini sia- sia.       Citra yang indah membuat momen begitu manis dan sulit dilupakan. Seandainya kita bisa bersama lagi, seandainya. . .      Tidak mungkin terjadi.     

Hari Baru

Jejak yang membekas. Luka yang menyayat hati. Sepi yang membising. Kepala yang penuh dengan tanda tanya. Angin yang bertiup membawa suasana semakin sepi. Kini, kutinggalkan kamu disini.  Aku sudah berlalu dari masa laluku. Sekarang, kamulah yang terpenting bagiku. Untuk warna baru yang hadir, lembar kertas yang masih kosong, izinkan aku mengisinya agar tak lagi menjadi hampa rasanya. Segala khawatir dalam dirimu, janganlah kamu simpan lagi. Sebab aku sudah menyayangimu, sepenuh hatiku.  Untuk apa aku bertahan dengan apa yang sudah tidak pantas untuk dipertahankan. Lebih baik aku manata kembali perasaanku untuk warna baru yang barangkali bisa merapikan kembali relung kecil yang sudah berantakan ini. Kamu yang kini ada di hatiku, percayalah aku sungguh mencintaimu. Ketahuilah, sejak aku mengenalmu, kamulah yang paling bisa menenangkan hatiku.  Mari membuat cerita denganku, melewati hari- hari bersama. Berbahagialah denganku. Simpan perasaanmu, sebagaimana aku menyimpan perasaanku yang ha

Mengenang

Mengenangmu adalah hal yang sangat ingin sekali ku simpan dalam ruang kosong agar tak lagi menjadi sebuah kebiasaan. Pernah sekali berpikir untuk abai walau apa yang dikatakan tidak benar- benar sebenarnya. Malam yang sunyi dan sepi selalu menjadi teman setia untukku. Teman yang mengerti mengapa aku harus melakukan hal yang sama sekali tidak memberikanku apa- apa, walau sekadar balasan perasaan. Tidak. Sama sekali. Malam yang dingin membawa diriku ke dalam hangatnya perasaan ketika sedang mengingatmu. Mengenangmu terkadang menjelma seperti dongeng yang kemudian membawa diriku ke dalam mimpi yang tiba- tiba saja membuatku terbangun di keesokan harinya.  Rintihan rindu dan secarik kertas yang berisi perasaan menolak untuk ditulis dan dibaca oleh penulisnya sendiri. Katanya sudah cukup. Sudah cukup untuk mengenang seseorang yang sampai saat ini tidak pernah kembali dengan banyak janji yang pada akhirnya diingkari. Kopi hitam memang tidak semanis teh hangat yang pernah kita beli. Tapi seti

Arti hidup

 Doa adalah bekal paling aman Agar pulang, kembali, semua harap yang terucap, bisa benar- benar terjadi. Hidup tentang bagaimana kamu menyikapinya Pikiranmu adalah kendalimu Tanganmu bukan kepalamu Matamu bukan telingamu Seringkali yang keliru jadi rumit Mengusap keringat karena terlalu lelah bicara sama kepala sendiri. Percakapan yang gak ada ujungnya Sepi, sunyi, ga ada yang mengerti selain diri sendiri. Mereka boleh saja dengar Tapi  belum tentu tahu yang benar Di sini semua sadar Bahwa semesta ga akan pernah pudar Semua tahu bumi berputar Untuk apa saling mengajar Kalau ternyata, hidup hanya perlu belajar.

Bukan Pantun

 Janjimu manis Tapi tak seperti es teh manis Tak menyegarkan  Dan tak terlupakan Dirimu menarik Tapi tak ada yang tertarik Aku pun mencari Ternyata kau di sini Kamu menghilang Dan tak ada yang bilang Ternyata kamu pergi Dengan tanpa permisi Aku rindu kamu Ketika ingat masa lalu Aku bisa ikhlas Tapi tak benar- benar melepas

Sepi

 Dibiarkan tanaman itu layu dengan sendirinya. Dihapus jejak kakinya, agar kau mencari. Aku pun mengamati. Mengambil serpihan tanah dengan kata semoga. Disertai doa. Aku melambai ke arah samudra. Melihat puluhan kapal berlayar. Meminta sedikit bekal, agar pulang dengan selamat.  Menunggu kelabu berubah menjadi biru. Menadahkan hujan dengan rayuan. Aku menolak untuk pulang. Disini tempatku, duniaku, katanya. Barangkali ada secangkir kopi yang bisa ku minum.  Agar bibirku tak lagi kering. Jari jemariku tak lagi pucat. Dan tubuhku sedikit lebih hangat. Barangkali pulang hanya menambah masalah. Maka keberadaanku di sini, bukan lagi pilihan. Tapi kewajiban. Ini duniaku. Tanpa ada yang tahu. Dan tak ada yang mengganggu. Beginilah diriku. Kalau tanpa dirimu.

Putih

 Tajam tetapi lembut, menawan dan begitu aman Suci dan pantas dibanggakan Ku ambil sedikit untuk menghiasi lampu Agar semakin cerah dan indah dunia Tanpamu aku tiada Denganmu aku hidup Dunia cuma tentang sedih dan bahagia Kau bisa keduanya Kau abadi . . . Tanpa persetujuan siapapun Aku menyimpanmu Dalam ruang kecil yang setara denganmu Manusia cuma manusia Tetapi bisa lebih dari itu Kalau mereka mau Kau bisa segalanya Mewakili apa pun Jelas dan nyata Kau benar ada Bukan di hatiku Tapi di semua jiwa dan raga.

Rindu hanyalah seutas rasa yang terbelah oleh jarak

 Sudah tiga tahun ya? Sudah tiga tahun aku mengenalmu. Tapi tak cukup untukmu agar bisa memahamiku, pun sebaliknya. Tiga tahun yang lalu, aku melihat seseorang yang begitu menyebalkan ketika menggantikan tempatku saat sedang latihan untuk pelantikan ekstrakurikuler di SMA.  Saat itu kamu sedang sakit, aku belum mengenalmu, tetapi ketika kamu masuk, justru kamu tidak merasa bersalah dan tidak heran ketika aku semakin kesal. Namun entah mengapa, justru kita malah berdampingan, dan anehnya,  aku jadi penasaran untuk menyapamu. Entah bagaimana sudut pandangnya, ternyata kamu juga penasaran untuk mengenalku. Di barisan paling belakang, kita kenal. Amarah dan kesal yang tidak terlalu penting sebelumnya, hilang begitu saja. Ku pikir ini becanda atau lelucon. Dari dulu, aku selalu pesimis dengan apa yang ada di kepalaku karena selalu saja yang terjadi malah sebaliknya. Kamu tahu, awal dari semua ini hanya sederhana. Sekadar berkenalan, kamu berusaha membuat aku tertawa dengan tingkah konyolmu,

Bukan apa- apa

Seperti sinar yang tertutup oleh tegaknya pohon yang menutupi tanaman sampai dia tidak mau tumbuh Seperti air yang mengalir namun terlalu banyak hal- hal aneh yang menghampiri Biru terlukis dan menyatu pada putih yang membuat menjadi lembut seakan selalu menemani  Segelas air yang cukup untuk menjadikanmu kembali menjadi kamu Sedikit terluka namun terlihat kuat dan seakan hilang abu pada warna hidupnya Bertanya kemana dia pergi Seperti menunggu hujan saat matahari masih kuat berdiri dan belum perlu istirahat Daun berguguran dan terbawa ke dalam mimpiku, menjadikannya abadi disaat ingin terbentang lupa  Hirup hanya menghiasi sedikit demi sedikit titik yang terus tertuju pada bertahan Manusia hanya hidup Kamu abadi Dalam ingatan Dan pikiranku.