Lampau yang usang

Untuk apa kita mengejar cahaya yang melekat erat pada sekujur tubuh yang basah karena rintik hujan

Rintik hujan yang usai setelah kau melambai

Kita tak perlu menjemput kesepian. Tak perlu bicara pada keramaian. Meminta maaf, untuk apa? Dia sudah kokoh dengan putusannya. Ikhlas, ikhlas, katanya. Sulit. Andai dia tahu, mungkin pohon-pohon yang mendadak mati sudah dimaklumi. Mungkin bunga liliy yang kini sudah tidak ceria sudah tidak dibeli di tokonya. Mungkin bulan yang sedang mengintip asmara nya sedang cemburu. 

Tidak ada yang pernah tau bagaimana rasanya panas memburu jiwa yang amat dalam terikat dengan kasih sayang. Terlalu. Ya. Terlalu. .

Komputer yang kupakai mengetik namamu sudah usang. Sudah rusak. Layaknya hati yang sebenarnya pantas mendapat risiko itu. Layaknya kaki yang terus dipaksa untuk berjalan di atas aspal tanpa pepohonan. Layaknya sumur yang berisi air suci untuk menenangkan masalah. 

Sudah, sudah. Aku akan berhenti. Sebab usang sudah bosan perang tanpa tahu siapa yang menang. Yang sakit sudah memeluk pahit begitu dalam. 

Kita hanya teman, walau pernah saling membuat nyaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukan Pantun

Hari Baru

U N I F E S T